22.12.18

Mirisnya Ketidaksetaraan Gender di Sekitar Kita


Seneng banget! Hari ini saya dapet banyak sekali wawasan baru. Eh, bukan ding, bukan wawasan baru, tapi insight baru. Yaitu tentang Kesetaraan Gender di acara Temu Blogger Kesehatan dalam Rangka Hari Ibu. Acara yang bertajuk Dengan Kesetaraan Gender Wujudkan Kesehatan Keluarga tersebut, dan dari apa yang diuraikan banyak pembicara, saya baru ngeuh, iya juga ya, isu kesetaraan gender begitu banyak di sekeliling kita.

Dari mulai bidang pendidikan yang memandang kalo wanita itu tidak harus sekolah tinggi-tinggi dan pintar; bidang kesehatan yang membuat wanita tak punya kemampuan untuk memutuskan yang terbaik untuk tubuhnya; bidang ekonomi yang masih banyak sekali membedakan gaji pegawai lelaki dan perempuan; serta masih banyak lagi. Semuanya membuat saya tercenung, kok bisa ya?

Saya sendiri pernah mengalami 'ketidaksetaraan gender'. Waktu itu saya baru menikah. Dan saya sedang hamil muda. Saya yang lemas dan mual minta ampun, yang kemudian ngidam kepengen bubur kacang hijau dari tukang dagang yang lewat depan rumah, terpaksa gigit jari karena keinginan saya tidak terkabul. Suami saya yang tadinya hendak membelikannya untuk saya, tidak jadi karena dicegah ibunya. Iya, ibu mertua saya. Suami bilang, ibunya berpendapat bahwa seorang suami gak seharusnya membawakan makanan untuk istrinya. Seharusnya sebaliknya. Saya yang harus memenuhi kebutuhan suami.

Apa yang terjadi kepada saya, saya yakin banyak sekali terjadi di luar sana. Dan kayaknya kasusnya jauh lebih berat. Dari penuturan ibu dr. Eni Gustina, MPH, Direktur Kesehatan Keluarga, Kemenkes RI yang tadi pagi menjadi salah satu pembicara di acara yang saya hadiri, bahkan ada seorang ibu yang sedang hamil besar, dan mengalami gangguan pada kehamilannya, sama suaminya tidak segera dibawa ke rumah sakit. Padahal si istri sudah sangat kesakitan. Kejadian di atas jelas, perempuan tersebut tidak memiliki kuasa di dalam menentukan keputusan untuk dirinya sendiri. Jadinya, kesehatan dan keselamatan dirinya sendiri jadi terancam.

Kasus yang lain juga banyak. Dari yang dipandang sebelah mata ketika hamil di luar nikah, menjadi penyebab dari banyaknya penyebaran penyakit HIV/AIDS akibat prostitusi, dan lain sebagainya. Jika dilihat lebih jauh, ini jelas merupakan kasus dari isu ketidaksetaraan gender.


Tapi untunglah, pada akhirnya banyak yang tersadar dengan kekeliruan ini. Termasuk dari pihak negara, khususnya Dinas Kesehatan yang sudah membuat program-program kesetaraan gender demi terwujudnya kesehatan keluarga. Pembinaan bahkan dimulai sejak dini. Yaitu sejak anak-anak perempuan bersekolah. Misalnya saja dengan dibuatnya program di sekolah-sekolah dan di lingkungan luar sekolah.

Program konseling pernikahan juga termasuk salah satu dari upaya ini. Para perempuan diberi pemahaman akan perlunya mereka menikah dalam keadaan siap. Tak hanya siap secara mental, tetapi juga secara fisik. Ini tentu ada kaitannya dengan anatomi dan fisiologi tubuh mereka. Ya, seorang anak perempuan baru bisa siap untuk hamil itu setelah perkembangan anatomi tubuhnya kuat, itu di atas 18 tahun. Dengan usia tersebut, ketika hamil dan punya anak, dia akan siap dan bayi pun sehat. Dan jelas, program konseling ini bertujuan di dalam menekan angka kematian ibu yang tinggi, dan mencegah kelahiran bayi yang tidak normal.

Duh, saya kudet banget. Saya bener-bener kudu baca-baca lagi tentang ini. Dan tentunya, saya juga kudu mulai membuka panca indra dan hati untuk bisa melihat hal ini. Miris juga rasanya jika ketidaksetaraan gender terus saja terjadi di sekitar kita. 

Yuk teman-teman, kita lebih peka dengan hal ini. Kesetaraan gender haruslah ditegakkan. Tentu supaya kesehatan keluarga bisa terwujud dengan sebaik-baiknya. 

3 komentar:

  1. Yes bener banyak kejadian yang selalu menyudutkan perempuan. Kalo menurutku, baik juga ya misal mulai dari usia baligh, selain dari keluarga dari sekolahan juga ada semacam pembinaan gt untuk sex education, tapi lebih inetns ga hanya membahas sepintas lalu. Mungkin saat pembinaannya sebaiknya dipisah antara laki n perempuan bisar kalo ada yang mau tanya2 atau apa ngga malu.

    BalasHapus
  2. Setuju. Di masyarakat kita masih banyak yang menganggap perempuan adalah kelas 2. Saya setuju dengan kesetaraan gender, selama tidak menyalahi kodrat

    BalasHapus
  3. Zaman now, semakin berkiprahnya wanita dis egala bidang, masih banyak juga yang memandang remeh wanita.
    meskipun memang kalau menurut saya, bukan gendernya yang gak setara, hanya saja kalau sudah jadi ibu, prioritasnya jadi beda.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar di blog saya. Maaf, karena semakin banyak SPAM, saya moderasi dulu komentarnya. Insya Allah, saya akan berkunjung balik ke blog teman-teman juga. Hatur tengkyu. :)