27.5.14

Met Milad Raditku Sayang...



Aku Bahkan Rela Mati Untuknya  

“Kriiiing….. kriiiiiing….” Bunyi alarm membangunkan tidurku pagi itu. Seperti biasa, hanya sepersekian menit, pikiranku langsung mengumpul. Sigap saja kurapihkan rambutku dengan mengikatnya ke belakang. Sempat kutatap dua orang yang paling berharga dalam hidupku, suami dan gadis kecilku, tertidur pulas di atas kasur yang baru saja kutinggalkan. Aku pun ke luar kamar.

Kubuka keran air dengan perlahan. Tapi saat air itu menyentuh wajahku, ada hal aneh yang aku rasakan. Ya, di sini, di perut dan juga tenggorokkanku. Dan oh! Semua isi perutku tumpah seketika. Kepalaku pun menjadi berat dengan pandangan yang semakin berputar-putar. Ada apa denganku?
*

Ketakutanku terbukti sudah. Semua gejala yang aku rasakan seminggu sebelumnya, benar-benar menguatkan sebuah bukti yang saat itu aku pegang. Dua strip merah di alat penguji kehamilan. Ya, aku hamil. Hamil anak kedua.


Aku panik luar biasa. Bagaimana tidak, itu semua di luar rencana. Apalagi, bukankah aku ikut KB? Coretan-coretan di kalender juga tak ada yang salah. Tak mungkin aku hamil. Mustahil. Sangat mustahil.

Kegundahan yang menyelimuti hari-hariku tak diketahui siapa pun. Tak terkecuali dengan suamiku. Aku sangat takut. Hal itu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan sebelumnya, kami pernah membahas itu. Dan keputusan kami sudah bulat. Menunda kehamilan. Menunda kehadiran anak kedua.  


Alasan kami sangat logis. Suamiku baru saja diterima bekerja di tempat baru. Gajinya masihlah kecil. Belum lagi, kami masih tinggal di rumah orangtua. Makan sehari-hari saja masih ditanggung mereka. Tapi saat itu apa? Aku harus bagaimana? Tujuh bulan ke depannya, janin di dalam rahimku akan hadir ke dunia.
*

Isak tangisku tak juga mereda. Usapan lembut dari tangan kekarnya di rambutku seperti membelah dada. Ya! Pagi itu, sesaat setelah shalat Subuh, aku menceritakan semuanya. Kegundahanku. Ketakutanku. Dan juga semua rasa mual yang mengisi hari-hariku padanya. Pada suamiku tercinta.

Semua di luar dugaan. Suamiku senang bukan kepalang. Kehadiran buah hati kedua yang begitu aku takutkan ternyata dia rindukan.

“Ini anugerah dari-Nya, Bunda,” ucapnya menenangkan.
“Aku akan bekerja lebih keras!” tambahnya meyakinkan.
“Untukmu, dan untuk anak-anak kita!”
Aku pun terdiam.
*

Hari yang kulewati tidaklah mudah. Dukungan suami ternyata bukan segalanya. Saat mertuaku tahu aku hamil lagi, aku bisa merasakan ketidaksetujuannya. Dan itu menjadi satu dari sekian alasan yang kemudian memicuku untuk kembali membenci isi perutku.

Keengganan untuk makan serta rasa mual yang aku rasakan sering kujadikan alasan. Tak jarang, kubiarkan perut kosong seharian. Dan diam-diam, aku berharap rahimku keguguran.

Berbagai usaha aku lakukan. Tentu semua di luar sepengetahuan siapa pun, apalagi suami. Dari mulai pil pelancar haid yang jelas-jelas dilarang untuk dikonsumsi ibu hamil hingga naik-turun tangga, justru begitu getol aku lakukan. Tujuannya hanya satu. Ya, aku ingin kehilangan calon bayiku.
*

Tepukan lembut seseorang di bahu mengagetkanku. Setengah sadar, aku membuka mata. Di sana berdiri seorang pria yang begitu aku cinta.

“Bunda, ikut sahur yuk! bisiknya.
“Tapi Bunda jangan puasa, kasian bayi kita,” ujarnya dibarengi senyum khas dirinya.
“Males, Yah,” jawabku meringis.
“Bunda mual. Lagian, nanti siang kan Bunda bisa makan,” tambahku beralasan.
“Ya sudah, terserah Bunda saja,” timpal suamiku yang kemudian menghilang dari pandangan.


Kejadian serupa berulang terjadi. Ajakan sahur di bulan puasa itu selalu aku tolak. Alasanku tentu saja karena mual dan aku bisa makan di siang harinya. Padahal, tak siapa pun tahu, aku bahkan hanya mengisi perut dengan air putih saja.
*

Hari itu adalah hari ke-15 di bulan puasa dan genap sudah 3 bulan kehamilanku. Rasa mual, pusing, dan jenuh membawaku pergi ke sebuah mall sendirian saja. Dan ternyata mujarab. Mual, pusing, lemas, dan jenuh sedikit teralihkan dengan riuh rendah suasana mall.

Awalnya semua berjalan lancar. Aku bahkan bisa menyantap nikmat sepiring nasi goreng dan segelas jus jeruk di kafe pojok mall itu. Tentu saja karena aku sedang tak berpuasa. Keganjilan mulai terjadi saat aku merasakan sesuatu yang basah di celanaku. “Apakah aku pipis di celana?” tanyaku dalam hati. Tak mungkin. Itu rasanya lain dan tak seperti pipis biasa.

Darah segar di celana dalam membuat jantungku memompa darah ke seluruh tubuh ekstracepat. Keringat dingin yang keluar dari balik baju membuatku begitu kedinginan. Aku menggigil. Dan tiba-tiba, uap panas memenuhi rongga napas dan akhirnya luruh menjadi titik-titik air di kedua pipiku. Ya Allah! Apa yang terjadi? Bagaimana dengan bayiku? Tidaaaaaak!
*

Aku memang tidak pingsan. Tapi adegan yang kuingat hanya sedikit saja. Ya, aku hanya bisa mengingat saat-saat menelpon suami untuk menjemputku di mall itu. Dan setelah itu, yang kuingat, aku sudah terbaring di tempat tidur. Di dalam kamarku sendiri.

“Bunda…” 

Suara berat yang begitu kukenal itu membuyarkan lamunanku. Seulas senyum manis yang selalu menenangkan, kali itu, rasanya lain. Menohokku. Senyum itu seperti memutar gulungan film yang aku sembunyikan. Cuplikan tentang hari-hari aku meminum pil pelancar haid; waktu-waktu aku naik-turun tangga; dan juga saat-saat aku menyiksa diri untuk tidak makan. Ya Allah….

Tangisku membuncah di pelukan pria itu. Di bawah bahunya, segala air mata, segala rasa yang menggulung dada selalu bisa tertumpah tanpa hambatan. Tapi, apakah pria itu bisa mengerti dengan apa yang kulakukan terhadap darah dagingnya? Apakah dia tahu bahwa aku sudah membunuh buah cintanya?

“Bunda, dokter bilang, bunda terlalu kecapean,” bisiknya di kupingku pelan.
“Apa, Yah?” tanyaku sambil menatap mata pria itu.
“Iya bunda. Untunglah bayi kita hebat dan kuat,” jawabnya pelan lagi.
“Apa, Yah? Bayi kita kuat? Dia tidak …. ?” tanyaku memberondong.
“Tidak, Bun. Bayi kita masih ada di rahimmu. Dia hanya kurang tenaga, makanan, dan juga kasih sayang bundanya,” papar pria yang kucinta itu.

“Ya Allah, Ayah…” tangisku semakin menjadi-jadi. Tak henti-hentinya hatiku terisis manakala kuingat maaf-Nya yang sangat besar, padahal aku begitu jahat pada makhluk-Nya yang saat itu tumbuh di rahimku. Kubiarkan dia lapar. Kuabaikan hak-haknya. Dan bahkan kerapkali, aku berusaha membunuhnya. Ibu macam apa aku?
*

Bulan-bulan penantianku menunggu si jabang bayi terasa berjalan sangat lambat. Meski kebahagiaan karena tidak sabar akan sosoknya begitu besar, diam-diam aku ketakutan. Ya, ketakutan itu hadir jika aku teringat kembali saat-saat aku mendzaliminya. Dan masa itu terjadi di bulan puasa. Bulan yang seharusnya menjadi ladang amal bagiku. Apalagi aku sedang hamil. Bukankah Allah menjanjikan pahala yang sangat besar bagi seorang ibu hamil? Lalu aku? Aku malah menyiksa bayiku dan aku pun hampir membunuhnya.

Mimpi buruk berulang kali datang. Dan puncaknya adalah malam itu. Malam saat sesosok bayi buruk rupa menghampiriku. Dalam mimpi itu, wajah si bayi berdarah-darah seperti disayat-sayat pisau. Dan dia memanggilku, “Bunda… bunda… bunda…”.

Di mimpi itu, aku lari ketakutan. Aku berusaha mengabaikan bayi itu. Aku juga menghindarinya. Tapi di mimpi itu juga, aku sadar, dia bayiku. Ya, dia darah dagingku tapi aku berusaha menolaknya.

Nasihat suami tercinta agar aku membaca surat Maryam dan surat Yusuf sedikit menenangkan. Konon, dengan kedua surat itu, bayi yang dikandung seorang ibu bisa setampan Nabi Yusuf atau secantik Maryam ibunya. Tapi lagi-lagi, rasa bersalah di bulan puasa yang sudah lewat itu selalu menghantuiku. Dan bayangan bayi di dalam mimpi, semakin memperparahnya. Bagaimana jika bayiku cacat? Bagaimana jika dia buruk rupa? Dan bagaimana jika dia tidak senormal bayi-bayi yang lainnya? Itu pasti karena salahku. Itu karena kebodohanku.
*

Jam meja kamar menunjukkan waktu pukul 7 malam. Segelas air kelapa muda tandas sudah kuhabiskan. Sekedar menurut saja pada orang tua. Ya, air kelapa muda konon mampu membersihkan kulit bayi yang sedang dikandung. Apalagi buatku yang selalu teringat mimpi itu, mungkin bisa sedikit membantu.

Hanya berselang 5 jam saja, aku merasakan hal yang berbeda. Perutku mulas bukan kepalang. Itukah sensasi kelapa muda yang kuminum tadi? Membersihkan kulit bayi hingga si ibu merasakan perut yang kontraksi?

Awalnya kubiarkan saja. Biarlah semua berjalan apa adanya. Dan aku menahan semuanya. Tapi lama kelamaan, mulasnya semakin menjadi. Perutku melilit hebat. Sampai aku yakin, itu bukanlah mulas biasa. Aku sedang kontraksi. Si jabang bayi akan segera ke luar.

Mulas yang kurasakan sudah tak dapat aku tahan. Jaraknya sudah lima menit sekali. Kuberanikan diri membangunkan suami yang tertidur pulas.  Dan dengan sigap, kami pun berangkat ke sebuah klinik bersalin.
*

Azan subuh pagi itu terasa berbeda. Semua harap, cemas, dan juga ketakutan yang selama itu menghantui hari-hariku pecah di sana. Semua berujung pada satu sosok mungil yang tergolek di sampingku. Seorang bayi yang menggelisahkan tidur malam-malamku selama 9 bulan. 


Tak henti-hentinya kutatap bayi yang tertidur pulas itu. Kulitnya yang putih bersih dengan wajahnya yang tampan. Kuamati pula seluruh bagian tubuhnya. Tak ada yang berbeda. Semua normal seperti halnya bayi biasa.

Aku tak percaya. Aku bahkan seperti orang gila. Kuhitung jari-jari tangan dan kakinyanya. Kubuka paksa matanya. Kusibak rambut kepalanya. Bahkan seluruh tubuhnya yang dibalut kain pun aku buka. Ya, aku ingin memastikan sendiri, tak ada cacat di tubuh bayi itu.

Alhamdulillah Ya Allah, bayiku sehat. Bayiku sempurna. Tak ada cacat fisik yang ditimbulkanku pada tubuhnya di 6 bulan sebelumnya. Di bulan puasa itu. Bulan yang penuh kedzaliman itu. Terima kasih Ya Allah, kau tak hukum aku di tubuhnya.
*

Enam tahun berselang. Bayiku kini tumbuh menjadi anak tampan, lincah, sehat, dan pintar. Tak dapat kubayangkan betapa menyesalnya aku jika anak ini tak pernah ada di dunia. Aku pasti akan mengutuk sisa hidupku jika di bulan puasa itu, aku berhasil membunuhnya. Tapi cinta-Nya jauh lebih besar. Maaf-Nya tiada terhingga.

Ya Allah, aku sangat bahagia karenanya. Aku sangat menyayanginya. Cintaku tak terhingga untuknya. Aku bahkan rela mati untuk dirinya. 


***

Cerita di atas adalah tulisanku yang dimuat di sebuah buku antologi Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama, 2011). Cerita itu tentu aku tulis berdasarkan atas kisah nyata yang terjadi padaku saat aku mengandung dan melahirkan anak kedua, Fauzan Raditya Arbani. Sungguh, jika aku mengingat atau membaca cerita ini, aku merasa sedih dan merasa berdosa sekali. Bagaimana tidak, anak lelaki kedua yang kini begitu aktif, begitu aku sayang, dan begitu tampan itu, di awal masa kehamilannya sempat tak aku inginkan. Dan bahkan, beberapa kali, aku hampir membunuhnya. Astaghfirullah!

Hari ini, adalah hari kelahirannya. Tepat 9 tahun yang lalu, bayi laki-laki gendut, putih, dan sipit itu ke luar dari rahimku beberapa menit setelah azan Subuh berkumandang. Alhamdulillah, apa yang kulakukan padanya ketika sedang mengandungnya tak berbekas di tubuhnya. Sebaliknya, dia kini menjadi anak yang tampan, pintar, aktif, dan juga ceria.

Di hari ulang tahunnya ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain bersyukur. Dari dalam hatiku yang paling dalam, tak henti-hentinya aku berdoa, semoga Raditku selalu sehat, selalu aktif, selalu cerita, menjadi anak yang pintar, menjadi anak yang soleh, menjadi anak yang senantiasa menyayangi orang lain, dan selalu membanggakan kami sebagai orangtuanya.

Selamat ulang tahun Radit Sayang, Umi dan Abi love you. Semoga Allah selalu melindungimu. Aamiin... aamiin... aamiin ya rabbal alamin.

10 komentar:

  1. Aku kok berkaca2 baca kisah kehamilannya, pas ada lagunya Hadad Alwi yang judulnya Umi.

    Selamat ya Radit, ikut mengaminkan doa Umi.

    BalasHapus
  2. Huhuhu a(ku nangissss :(((( selamat ulang tahun radit...:")

    Mbak aku jg diposisimu skr ini saat awal2 menikah :") alhamdulilllah kita punya suami yg hebat :")

    Lupyuu mbak e

    BalasHapus
  3. hampir mbebes mili baca ini,soalnya aku dan pinginnn banget tp belum waktunya mungkin, jd masih menunggu dan menunggu....doain ya makk :D
    Baarokalloh radit ganteng...^^

    BalasHapus
  4. Selamat milad untuk Radit ganteng, smeogamenjadi anak yang sholeh, Aamin

    BalasHapus
  5. Uwaaaaa......semoga menjadi anak yang membanggakan ya Radit...panjang umur dan sehat selalu...muuuaaahhh ...

    BalasHapus
  6. ya ampun mak.. saya nangis lho bacanya...
    Selamat ulang tahun ya Radit... semoga menjadi anak yang sholeh

    BalasHapus
  7. Selamat ulang tahun radit...

    BalasHapus
  8. Bener2 terharu mbak baca kisahnya. Sebuah perjuangan hebat sekaligus perjalanan panjang menjadi seorang ibu. Semoga cerita mbak Nia menginspirasi banyak wanita agar mereka tak begitu mudah membunuh janinnya atau membuangnya. Sesungguhnya anak adalah amanah yang hrs kita jaga dan rawat sebaik mungkin. Dan bersyukur itu memang perlu atas amanah ini, karena masih banyak wanita yang bertahun2 mendambakan keturunan yang tak kunjung hadir.
    Dan selamat milad untuk mas Radit...semoga tumbuh menjadi anak yang sholeh, berbakti pd orang tua dan diberi kecerdasan serta kesehatan, amin

    BalasHapus
  9. Radit benar2 anak yang tangguh, ya. Selamat ulang tahun, Radit :)

    BalasHapus
  10. Subhanallah,,,Mak Niaaaaaa,,bikin aku nangis,,,,hiks,,,ceritanya loh,,,,Mak Nia hebat ya,,,semoga jagoannya lebih hebat,,,semoga Allah menjaga keluarga mak Nia :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar di blog saya. Maaf, karena semakin banyak SPAM, saya moderasi dulu komentarnya. Insya Allah, saya akan berkunjung balik ke blog teman-teman juga. Hatur tengkyu. :)