16.5.14

A Place to Remember : The Place Where The First Time We Met

Tempat itu ukurannya tak lebih dari 3x3 meter persegi saja. Tapi kenangan yang diberikannya, sangat besar dan berpengaruh banyak dalam hidupku. Bahkan hingga hari ini. Tanpa tempat itu, aku mungkin tak akan seperti sekarang.

Pertama kali masuk tempat itu, mungkin sekitar bulan Juni tahun 1999. Saat itu adalah hari sesudah pelantikan angkatan kami. Hari di mana kami, secara resmi masuk menjadi anggota himpunan. Ya, seperti itulah kebanyakan ritual di kampus kami. Junior akan masuk menjadi anggota himpunan setelah setahun sebelumnya diberi pembinaan. Dan di akhir tahun, hampir sebulan, junior tersebut harus mengikuti diksar. Meski berat, tapi kegiatan ini, benar-benar sangat berkesan dan juga bermanfaat. Terutama untuk jurusanku yang banyak kuliah lapangannya. Diksar membuat kami tahu bagaimana ‘bergaul’ dengan alam.

Buatku, tempat yang kami sebut sebagai himpunan itu adalah segalanya. Maksudnya, setelah resmi jadi anak himpunan, terutama setelah angkatanku jadi pengurus, himpunan menjadi tempat ‘hidup’ di kampus, selain di ruang kuliah. Sebelum masuk kuliah, pasti ke himpunan. Setelah kuliah, nongkrong di himpunan. Apalagi saat bolos, himpunan selalu jadi tempat nyumput yang paling nyaman. Pokoknya, selalu… himpunan, himpunan, dan himpunan.

12.5.14

#KidsToday : Sibuk Belajar Membuat Anak Jadi Pintar?


Video di atas mengingatkan saya pada ‘dosa-dosa lama’. Ya, beberapa tahun lalu, Reihana, putri sulung saya, bernasib sama seperti anak-anak itu. Dia bangun pagi-pagi sekali untuk sekolah. Kemudian pulang sekolah, les Matematika, IPA, atau Bahasa Inggris. Dan lalu sore harinya, mengaji di TPA dekat rumah. Jeda antar-aktivitas satu dengan yang lainnya, mungkin hanya sekitar satu jam saja. Lepas Maghrib, barulah Reihana bisa beristirahat. Itu pun kalau tidak ada PR. Jika ada, nyaris, waktu aktif Reihana tersita habis oleh kegiatan-kegiatan itu.

Awalnya, saya tidak menyuruh Reihana untuk les ini dan itu. Tapi melihat teman-temannya yang setiap hari ‘sibuk’ seperti itu, Reihana dan saya akhirnya sepakat untuk ikut les-les tersebut. Selain karena teman-temannya, harapan akan peningkatan prestasi Reihana juga menjadi alasan saya.

Sebulan dua bulan, aktivitas yang full seperti itu, menurut Reihana cukup menyenangkan. Dia jadi banyak teman dan banyak belajar. Di bulan ketiga, kebosanan itu datang. Reihana mulai membolos di pertemuan les-les itu. Karena terlalu banyak membolos, akhirnya Reihana tak mau ikut les lagi. Waktu istirahat yang cukup lama yang bisa digunakannya untuk bermain dengan teman-teman seusianya di lingkungan rumah, ternyata lebih menarik perhatian dia.

#KidsToday : Di Balik Wajah 'Bermain' Anak-anak

Siang itu, sepulang sekolah, Radit membuka pakaian seragamnya dengan terburu-buru. Setelah memakai pakaian biasa, dia melesat pergi ke luar rumah.
“Dadah, Umi!” ujarnya sambil berlari.

Saya cuma melongo. Tak keburu bertanya, saya pun akhirnya menatap Radit yang ternyata belok ke rumah temannya.
“Oooh… mau main, toh!” ucap saya dalam hati.

Satu jam kemudian, Radit pulang ke rumah. Dengan wajah yang merah padam akibat tersengat sinar matahari, keringat yang bercucuran, dan nafas terengah-engah, dia menghampiri saya. Radit pun bercerita penuh semangat.

“Mi, tadi Aa balap sepeda sama teman-teman. Dan Aa menang. Keren, kan?”
“Wah, hebat! Eh, emang Aa gak capek, abis sekolah terus balap sepeda?” tanya saya.
“Enggak, dong. Malah Aa seneng banget,” jawabnya penuh antusias.