Pagi itu, seperti biasa, cuaca kota Bandung sangatlah dingin. Meski diperjelas dengan kabut tebal yang menyelimuti beberapa gedung kampus, saya tak sedikit pun merasa kedinginan. Sebaliknya, saya malah kepanasan. Dengan jantung yang terus berdegup kencang dan keringat bercucuran yang membasahi badan.
Sebenarnya badan yang kepanasan itu sudah saya rasakan sejak langkah pertama meninggalkan rumah. Tapi karena pikiran tak tenang, semua hal itu menjadi terkesampingkan.
Ya, hari itu adalah hari terakhir pembayaran SPP. Walau sudah mendapatkan penangguhan selama sebulan, uang SPP yang saat itu sekitar 500 ribuan, belum juga saya dapatkan. Tidak, saya tidak suka disebut sebagai mahasiswa yang miskin. Saya hanya seorang anak dari orang tua yang pas-pasan, yang menguliahkan 3 anaknya, dalam waktu yang bersamaan. Bisa dibayangkan bukan bagaimana repotnya orang tua saya yang tidak punya asuransi pendidikan untuk anak-anaknya, tapi harus mengeluarkan uang SPP dalam waktu yang hampir bersamaan?
Sebenarnya badan yang kepanasan itu sudah saya rasakan sejak langkah pertama meninggalkan rumah. Tapi karena pikiran tak tenang, semua hal itu menjadi terkesampingkan.
Ya, hari itu adalah hari terakhir pembayaran SPP. Walau sudah mendapatkan penangguhan selama sebulan, uang SPP yang saat itu sekitar 500 ribuan, belum juga saya dapatkan. Tidak, saya tidak suka disebut sebagai mahasiswa yang miskin. Saya hanya seorang anak dari orang tua yang pas-pasan, yang menguliahkan 3 anaknya, dalam waktu yang bersamaan. Bisa dibayangkan bukan bagaimana repotnya orang tua saya yang tidak punya asuransi pendidikan untuk anak-anaknya, tapi harus mengeluarkan uang SPP dalam waktu yang hampir bersamaan?