30.5.14

Speedy Instan : Koneksi Internet Cepat, Stabil, dan Mampu Diandalkan

Di era digital seperti sekarang, internet nirkabel bukanlah barang yang baru. Terutama bagi orang-orang modern alias orang-orang gaul. Ke mana pun mereka pergi, gadget yang dimiliki pasti selalu dipakai untuk internetan dengan menggunakan fasilitas ini. Baik hotspot/wifi gratisan hingga yang berbayar. Dari yang hanya sekadar untuk eksis dan narsis, sampai untuk keperluan pekerjaan. Semua jelas membuat jalan-jalan semakin menyenangkan.

Tak terkecuali dengan aku. Meski bukan orang (yang terlalu) gaul, setiap kali ke luar rumah, aku selalu menggunakan fasilitas hotspot/wifi ini. Dengan alasan hemat, aku lebih memilih hotspot/wifi gratisan. Gak masalah jika koneksinya lemot dan gak stabil. Toh yang aku lakukan hanya sebatas update status Facebook, Twitter, ngecek e-mail, atau browsing gak jelas ke sana ke mari.

Kemarin (Kamis, 30 Mei 2014), aku, suami, dan anak ketigaku pergi ke Bandung Electronik Center (BEC). Kami ke sana bukan untuk beli gadget baru. Tetapi untuk mencari game yang diminta anak keduaku. Yupp! Dua hari sebelumnya, dia memang berulang tahun dan minta game baru sebagai hadiahnya.

29.5.14

Jalan-jalan

Hore! Akhirnya rencana nyari game hadiah ultah buat A #Radit terlaksana. Yupp! A #Radit memang sangat doyan sekali dengan game. Persis babehnya. Jadinya, sebagai kado, dia cuma minta diinstal game baru saja. Dan rencana yang tadinya mau berangkat hari Selasa, akhirnya mundur jadi hari Kamis ini. Untung saja hari libur di minggu ini banyak.

Sekalian cari game, aku, misua, dan juga #BabyZ, mampir dulu ke BEC. Bukan buat beli gadget baru sih. Cuma mau nyobain koneksi Speedy Instan di @wifi.id yang kebetulan banget ada lomba blognya. You know me. Akulah si banci kontes itu. Hehehehehe.... Kenapa harus di BEC? Jawabannya adalah karena di sana ada tempat colokan listriknya. Maklumlah, baterai laptop (pinjaman dari misua) gak kuat dipake lama-lama. Aku kan mau nyoba koneksi Speedy Instan itu untuk keperluan macem-macem. Yang mungkin butuh waktu berjam-jam. Diusir diusir dah sama satpam BEC. Kan pulsa Speedy Instan 5000 bisa dipake untuk seharian. Nih sekarang, aku ngeblog pake koneksi Speedy Instan.

Nyempetin untuk selfie#halah

Wuih... ternyata iya, Speedy Instan lumayan kenceng. Buka situs mana pun bisa dan cepet. Malah, di saat wifi lain yang ada di BEC sini lemot pun, si Speedy Instan ini tetep lancar jaya. Jadi deh aku ngerjain segala macem. Dari mulai apdet status socmed, selfie, ngerjain PR dari klien, hingga ngeblog ini.

Aduh... #BabyZ udah rewel nih. Kayaknya dia ngantuk dan udah bosen diajak naik turun eskalator sama babehnya. Yo weis... aku udahan deh nyobain Speedy Instannya. Lagian, udah malu nih sama si aa dan si teteh dari booth makanan di belakang. Baru kali ini betah duduk dari jam 10 pagi sampe jam 3 sore. Hihiwwwww....

Mari kita pulaaaaaang. Persib sudah menanti di rumah. Semoga saja jalanan lancar. Yuk ah cap cuuuuuus....

27.5.14

Met Milad Raditku Sayang...



Aku Bahkan Rela Mati Untuknya  

“Kriiiing….. kriiiiiing….” Bunyi alarm membangunkan tidurku pagi itu. Seperti biasa, hanya sepersekian menit, pikiranku langsung mengumpul. Sigap saja kurapihkan rambutku dengan mengikatnya ke belakang. Sempat kutatap dua orang yang paling berharga dalam hidupku, suami dan gadis kecilku, tertidur pulas di atas kasur yang baru saja kutinggalkan. Aku pun ke luar kamar.

Kubuka keran air dengan perlahan. Tapi saat air itu menyentuh wajahku, ada hal aneh yang aku rasakan. Ya, di sini, di perut dan juga tenggorokkanku. Dan oh! Semua isi perutku tumpah seketika. Kepalaku pun menjadi berat dengan pandangan yang semakin berputar-putar. Ada apa denganku?
*

Ketakutanku terbukti sudah. Semua gejala yang aku rasakan seminggu sebelumnya, benar-benar menguatkan sebuah bukti yang saat itu aku pegang. Dua strip merah di alat penguji kehamilan. Ya, aku hamil. Hamil anak kedua.

23.5.14

MyTelkomsel : Sobat Praktis Emak-emak Ekonomis yang Hobi Eksis dan Narsis

Siapa bilang jika eksis di dunia maya itu hanya milik anak-anak muda atau kaum intelek yang duduk di kursi kantoran saja? Emak-emak yang kerjanya di rumah untuk mengurus kebutuhan anak-anak dan suami juga bisa melakukannya, lho. Contohnya saya. Di sela-sela kesibukan rumah tangga beserta tetekbengeknya, saya selalu mampu meluangkan waktu untuk update berbagai hal di internet melalui gadget. Seperti mencari resep masakan, membaca artikel kesehatan dan keluarga, nulis blog, hingga eksis (plus narsis) di jejaring sosial, sudah jadi hal wajib yang saya lakukan setiap hari.

Bagi emak-emak seperti saya, berinternet ria dengan nyaman di depan PC atau laptop, sudah tentu menjadi hal mewah yang sangat jarang dilakukan. Gimana enggak, sebab selesai dengan urusan rumah yang satu pasti muncul kesibukan lain. Beres menyuapi si sulung, tiba-tiba saja si bungsu menangis. Begitu dan begitu terus. Untunglah, berkat smartphone, apa pun yang sedang saya lakukan, di mana pun dan bersama siapa pun itu, tak bisa menjauhkan saya dari internet. 

Tapi...
Untuk memenuhi kebutuhan berselancar tanpa batas, paket internet unlimited merupakan pilihan yang wajib saya lakukan. Jika tidak, tentu aktivitas di dunia maya saya itu bisa terhambat jadinya.

22.5.14

Hepi Beursdey #BabyZ Sayang!

 

Horeee… #BabyZ hari ini tepat berusia 2 tahun. Kalo inget masa-masa hamil dan melahirkan, rasanya gak terasa waktu udah berjalan 2 tahun. Kayak baru kemaren aja gitu. Mual-mual, pegel-pegel, eungap, susah tidur, sakitnya melahirkan, dan tentu saja begadang hampir tiap malem untuk ngASI. Subhanallah banget deh! Bener-bener, pengorbanan yang penuh dengan darah dan air mata itu begitu tidak terasa *halah lebay*.

Ah iya, ngomong-ngomong soal ngASI, tepat di usia 2 tahun ini, #BabyZ udah lepas ASI sejak 2 bulan yang lalu, lho. Awalnya sih latihan supaya nanti pas 2 tahun gak kaget lepas dari ASI. Eh ternyata, dengan sekali oles air bratawali di ‘jerigen’ mimiknya, #BabyZ udah langsung kapok. Gak mau nenen lagi. Hehehehe…

Kasian sih sebenernya. Di awal-awal minggu pertama disapih, #BabyZ lemes banget. Mana susah tidur pula. Tapi untunglah, berkat abinya yang mau ikut gendong di kala rewel dan ngantuk, terutama di malam hari, #BabyZ akhirnya terbiasa juga. Dan sekarang, tidur pun sudah gampang. Tinggal bawa mobil-mobilan ke kasur plus ditemenin emaknya yang pura-pura tidur duluan (yang akhirnya malah jadi tidur beneran), #BabyZ pun bisa tidur pulas sampai pagi. Tidur siang pun begitu. Gak terlalu susah sepeti saat baru disapih.

18.5.14

Waspadai TB Resisten Obat

Pengobatan TB standar itu berjalan selama 6 bulan. Selama waktu pengobatan itu, penderita harus mengonsumsi obatnya secara patuh dan teratur menurut jadwal yang disarankan dokter. Jika tidak dilakukan, misalnya lupa atau pun sengaja karena malas dengan efek samping yang diberikan, atau mungkin karena sudah merasa sembuh, maka penyakit TB kemungkinan besar tidak akan terobati secara tuntas. Dan sebaliknya, kuman TB tersebut malah bisa menjadi bertambah kuat. Sehingga akhirnya, dia resisten (kebal) terhadap obat yang diberikan.

Keadaan itu persis terjadi pada seorang tetangga di kampung saya. Namanya Bu Lalah. Karena dia merasa terganggu dengan rasa mual setelah meminum obat anti TB (OAT), maka begitu tubuhnya merasa baikan, dia meninggalkan kewajibannya dalam meminum OAT tersebut.

Beberapa minggu ke depannya, Bu Lalah memang masih segar bugar. Tubuhnya nampak seperti orang biasa yang ‘sehat-sehat’ saja. Akan tetapi, setelah menginjak hitungan bulan, tepatnya bulan kedua setelah lepas dari obat, kesehatan Bu Lalah menurun dan kembali mengalami gejala yang sama seperti saat divonis menderita TB oleh dokter. Dia batuk-batuk, demam di malam hari, hilang nafsu makan, dan juga turun berat badan. Dia pun panik dan langsung dibawa keluarganya ke dokter tempat dia biasa memeriksakan kesehatannya.

16.5.14

A Place to Remember : The Place Where The First Time We Met

Tempat itu ukurannya tak lebih dari 3x3 meter persegi saja. Tapi kenangan yang diberikannya, sangat besar dan berpengaruh banyak dalam hidupku. Bahkan hingga hari ini. Tanpa tempat itu, aku mungkin tak akan seperti sekarang.

Pertama kali masuk tempat itu, mungkin sekitar bulan Juni tahun 1999. Saat itu adalah hari sesudah pelantikan angkatan kami. Hari di mana kami, secara resmi masuk menjadi anggota himpunan. Ya, seperti itulah kebanyakan ritual di kampus kami. Junior akan masuk menjadi anggota himpunan setelah setahun sebelumnya diberi pembinaan. Dan di akhir tahun, hampir sebulan, junior tersebut harus mengikuti diksar. Meski berat, tapi kegiatan ini, benar-benar sangat berkesan dan juga bermanfaat. Terutama untuk jurusanku yang banyak kuliah lapangannya. Diksar membuat kami tahu bagaimana ‘bergaul’ dengan alam.

Buatku, tempat yang kami sebut sebagai himpunan itu adalah segalanya. Maksudnya, setelah resmi jadi anak himpunan, terutama setelah angkatanku jadi pengurus, himpunan menjadi tempat ‘hidup’ di kampus, selain di ruang kuliah. Sebelum masuk kuliah, pasti ke himpunan. Setelah kuliah, nongkrong di himpunan. Apalagi saat bolos, himpunan selalu jadi tempat nyumput yang paling nyaman. Pokoknya, selalu… himpunan, himpunan, dan himpunan.

12.5.14

#KidsToday : Sibuk Belajar Membuat Anak Jadi Pintar?


Video di atas mengingatkan saya pada ‘dosa-dosa lama’. Ya, beberapa tahun lalu, Reihana, putri sulung saya, bernasib sama seperti anak-anak itu. Dia bangun pagi-pagi sekali untuk sekolah. Kemudian pulang sekolah, les Matematika, IPA, atau Bahasa Inggris. Dan lalu sore harinya, mengaji di TPA dekat rumah. Jeda antar-aktivitas satu dengan yang lainnya, mungkin hanya sekitar satu jam saja. Lepas Maghrib, barulah Reihana bisa beristirahat. Itu pun kalau tidak ada PR. Jika ada, nyaris, waktu aktif Reihana tersita habis oleh kegiatan-kegiatan itu.

Awalnya, saya tidak menyuruh Reihana untuk les ini dan itu. Tapi melihat teman-temannya yang setiap hari ‘sibuk’ seperti itu, Reihana dan saya akhirnya sepakat untuk ikut les-les tersebut. Selain karena teman-temannya, harapan akan peningkatan prestasi Reihana juga menjadi alasan saya.

Sebulan dua bulan, aktivitas yang full seperti itu, menurut Reihana cukup menyenangkan. Dia jadi banyak teman dan banyak belajar. Di bulan ketiga, kebosanan itu datang. Reihana mulai membolos di pertemuan les-les itu. Karena terlalu banyak membolos, akhirnya Reihana tak mau ikut les lagi. Waktu istirahat yang cukup lama yang bisa digunakannya untuk bermain dengan teman-teman seusianya di lingkungan rumah, ternyata lebih menarik perhatian dia.

#KidsToday : Di Balik Wajah 'Bermain' Anak-anak

Siang itu, sepulang sekolah, Radit membuka pakaian seragamnya dengan terburu-buru. Setelah memakai pakaian biasa, dia melesat pergi ke luar rumah.
“Dadah, Umi!” ujarnya sambil berlari.

Saya cuma melongo. Tak keburu bertanya, saya pun akhirnya menatap Radit yang ternyata belok ke rumah temannya.
“Oooh… mau main, toh!” ucap saya dalam hati.

Satu jam kemudian, Radit pulang ke rumah. Dengan wajah yang merah padam akibat tersengat sinar matahari, keringat yang bercucuran, dan nafas terengah-engah, dia menghampiri saya. Radit pun bercerita penuh semangat.

“Mi, tadi Aa balap sepeda sama teman-teman. Dan Aa menang. Keren, kan?”
“Wah, hebat! Eh, emang Aa gak capek, abis sekolah terus balap sepeda?” tanya saya.
“Enggak, dong. Malah Aa seneng banget,” jawabnya penuh antusias.


6.5.14

Apa? Wesel Pos Masih Ada?


Beberapa waktu lalu, saat BW ke blog seorang teman (baca: Idah Ceris) hehe, aku sempet baca postingan tentang wesel pos. Pas lagi baca jadi kepikiran, kapan ya terakhir kali aku kirim wesel pos? Wah... kayaknya lebih dari 20 tahun yang lalu. Mungkin sekitar aku kelas 3 SMP. Ya, saat itu, aku hampir tiap bulan, kirim wesel pos ke adikku yang ada di luar kota.

Dulu, setiap habis kirim wesel pos, aku selalu merasa takjub. Hebat ya bisa kirim uang ke tempat yang jauh tanpa harus ke sana langsung. Kita ngasih uang ke petugas pos; nulis ini - itu di lembar wesel; terus kertas itu dikirim ke tempat yang dituju; dan si orang yang dikirim tinggal dateng ke pos untuk ambil uang itu. Meskipun memakan waktu beberapa hari, dengan ongkos yang relatif murah, teknologi wesel pos itu sungguh membuat aku terkagum-kagum. Dan tentunya, sangat membantu orang sibuk yang tak sempat datang ke kota tujuan untuk mengirimkan uang.

4.5.14

TB Memang Mematikan, Tapi Bisa Disembuhkan

Saat pertama kali tahu bahwa adik saya terkena TB, saya dan seluruh keluarga sangat sedih. Kami benar-benar terpukul dengan kenyataan yang terjadi saat itu. Bagaimana tidak, meski kami percaya dengan takdir kematian itu di tangan Tuhan, bayangan kematian adik saya, rasanya sangat begitu nyata. Tentu, semua itu karena memang kebanyakan, penderita TB yang ada di lingkungan sekitar saya, selalu berujung pada kematian. Dan jujur, walaupun dokter sudah menjelaskan bahwa TB bisa disembuhkan, optimisme untuk sembuh itu tidak 100% kami rasakan. Bisa dikatakan, pengobatan dan konsultasi dengan dokter yang dilakukan semata-mata hanya untuk sebuah ikhtiar terakhir yang bisa kami lakukan.

Ternyata, TB Benar-benar Bisa Disembuhkan!
Dugaan saya dan keluarga ternyata salah. Penyakit TB yang diderita adik saya benar-benar sembuh dalam kurun waktu 6 bulan. Dan ini berarti, pengobatan yang dilakukan adik saya bukan hanya sebuah ikhtiar terakhir. Tapi justru, itulah pengobatan yang memang harus dijalankan.

Awalnya nasihat dokter terasa hanya sebuah hiburan saja untuk adik saya. Tapi seiring waktu berjalan dan seiring bertambah fitnya kondisi tubuh adik saya, semua bukan cuma penglipur lara semata, sebab harapan kesembuhan itu semakin nyata di depan mata.

1.5.14

Hari Ini, 12 Tahun yang Lalu...


Hari ini, 12 tahun yang lalu, adalah hari yang tak bisa aku lupakan. Hari saat di mana untuk pertama kalinya aku menjadi ibu. Ya, di hari ini, 12 tahun yang lalu, putri pertamaku, Reihana Azzahra, lahir. Rabu, 1 Mei 2002 pukul 10 malam.


*

Malam itu, tanggal 30 April 2002 adalah USG terakhir di kehamilan pertamaku. Karena sudah melebihi HPL yang diprediksikan dokter, minggu itu, aku pun mengajak adikku untuk menginap. Tujuanku tentu agar saat perutku mengalami kontraksi atau terjadi ini-itu, aku ada yang nemenin. Tahu sendirilah seperti apa rasanya aku yang saat itu masih tinggal di rumah mertua. Meski mereka sangat baik, aku yang baru dekat dengan mereka setahun terakhir, masih sangat kagok untuk ngomong dan minta bantuan. Adapun suamiku, saat itu masih kerja di PT. Freeport, di Papua. Dan beliau baru akan pulang di bulan Juni berikutnya.

Ya, setelah menikah, aku memang tinggal di rumah mertua. Saat itu, kuliahku belum selesai. Aku sedang tugas akhir. Perut yang semakin membesar, jauh dari dokter kandungan yang biasa menanganiku, dan juga jauh dari kampus, menjadi alasanku untuk tinggal di rumah mertua. Sekali pun, anak mertua (baca: suamiku) tidak ada di sana.